Berbagi Bacaan: #1. Agama di Tengah Musibah Perspektif Spiritual Karya Haidar Bagir
Kesanku setelah membaca buku ini adalah buku ini sangat asik, sangat relate, tidak berat seperti judulnya namun tetap memiliki esensi yang kuat. Selain itu dalam buku ini nilai Islam bisa diresapi dengan ringan tapi tetap menyentuh dan menyadarkan. Di beberapa bagian pembahasan, aku dan mungkin pembaca lain akan memiliki pemahaman dan sudut pandang yang baru dari pembahasan yang dihadirkan penulis, ya mind-shifting sulit dielakkan haha. Bukunya masih hangat dan sangat faktual dengan kondisi saat ini. Syukur tentunya aku bisa membaca buku yang menyegarkan otak dan hati hehe. Terakhir, terimaksih kepada penulis yang telah sudi menulis dan mencurahkan ilmunya. Terimakasih juga kepada Dosenku yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk membaca buku yang sangat bagus ini. Alhamdulillah.
Berikut ini beberapa point-point menarik dalam buku berjudul Agama di Tengah Musibah Perspektif Spiritual karya Haidar Bagir.
Pada bab 1 membahas mengenai 'Hubungan antara Agama dan Sains', dijelaskan bahwa Islam sangatlah berhubungan dengan sains, khususnya di bidang kedokteran. Anjuran untuk berobat bahkan sudah dinyatakan oleh Nabi sendiri dalam hadits dan Sunnah beliau saw. Bahkan suatu disiplin ilmu kedokteran yang biasa disebut sebagai “kedokteran Nabi” (al-thibb al-nabawi) sudah dikenal di sepanjang sejarah Islam. Imam Syafi’i dalam salah satu pernyataannya menyatakan bahwa setelah ilmu (fiqh) tentang yang halal dan haram, kedokteran adalah ilmu yang paling utama.
Pada bab 2, judulnnya sangat menarik pembaca yakni “Sehat Yes, Panik No!”. Point menarik dalam bab ini adalah penulis meluruskan terkait lifestyle masyarakat masa kini yang menjadikan sehat sebagai tujuan, padahal sehat sejatinya bukanlah tujuan melainkan sebuah sarana agar kita dapat hidup nyaman, bahagia, dan produktif. Selain itu, dalam bab ini penulis juga menghadirkan kesehatan dalam pandangan Islam. Islam sangatlah mementingkan kesehatan, ini tercermin dari doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw;
اللهم إنى أسألك العفو العافية فى الدنيا و الآخرة اللهم إنى أسألك العفو العافية فى دينى و دنياى و أهلى و مالى
Pada bab 3, lagi-lagi judulnya sangat menarik dan faktual, sebab banyak orang yang bertanya-tanya sebenarnya “Corona: Kutukan atau Berkah?”. Penulis berpendapat bahwa bala’ atau pun azab, keduanya pasti ada hikmahnya dan memuat kebaikan. Sehingga tidak perlu berdebat panjang lebar apakah virus Corona ini bala’ atau azab?. Bagi orang yang sudah baik, itu adalah cobaan dan bagi yang sering berbuat dosa, itu adalah sebuah peringatan agar dia menyadari atas dosa-dosanya, kemudian bertobat kepada Allah, hingga akhirnya berubah menjadi baik. Maka tidak ada musibah dari Allah swt. kecuali untuk kebaikan kita semua. Selain itu, saya setuju dengan pernyataan yang bijak dari penulis “Jika kita bersikap positif (sabar, mendekat kepada Allah, pasrah ketentuan Allah) maka musibah virus Corona ini akan menjadi berkah dan kita mendapatkan hikmah dari sesuatu yang tadinya kita lihat sebagai keburukan.”
Pada bab yang berjudul “Doa: Mengetuk Alam Ruhani, Mengubah Alam Fisik”, menurut saya pemaparan penulis tentang konsep doa membuat pembaca menjadi optimis. Optimis karena ternyata seperti yang kita yakini bahwa doa memang memiliki kontribusi besar terhadap hidup kita. Penulis menyatakan bahwa “Doa selain bersifat spiritual, juga menggerakkan hukum-hukum di alam ruhani. Hukum-hukum alam ruhani dapat mempengaruhi hukum-hukum di alam fisik. Ada inayah (dukungan) dari Allah, imdad ghaibiyah (dukungan bersifat ghaib atau ruhani) yang mampu mengubah akibat yang terbentuk melalui bekerjanya hukum alam.” Sehingga, mudah-mudahan dengan doa dan amalan lain seperti sedekah, silaturahim dapat memaksimalkan ikhtiar kita untuk terhindar dari hal-hal yang buruk termasuk Covid-19.
Pada bab 5 yang berjudul “Sakit Sebagai Karunia”, ma syaa Allah sesuai judulnya pembaca menjadi tersadar bahwa sakit itu tidak seluruhnya menyakitkan, di balik sakit yang diderita ada hikmah luar biasa. Saat sakit seorang hamba akan lebih dekat dengan Allah dan sadar atas ke-Maha Rahim-an-Nya. Penulis menjelaskan bahwa sakit itu mengandung hikmah yang luar biasa yaitu; (1) Semakin dekat dengan Allah, sebagaimana dalam salah satu hadits qudsi, “....Hamba-Ku sakit dan kamu tidak mengurusnya. Padahal kalau kamu urus hamba-Ku yang sakit itu, maka kamu akan bertemu dengan-Ku, karena Aku ada di sisi orang yang sakit.” (2) Menghapuskan dosa-dosa, sebagaimana dalam sebuah hadits, “Tidaklah seorang yang beriman itu jarinya tertusuk duri kecuali Allah mengampuni dosanya akibat (sakit yang dia derita karena tertusuk duri itu.” Maa syaa Allah jika tertusuk duri saja, dosa kita dihapuskan, apalagi sakit berat?
Pada bab 6 berjudul “Kematian” awalnya sedikit menyeramkan membaca judulnya, tapi pembahasan yang dihadirkan oleh penulis menurut saya memberikan nuansa lain terkait kematian. Jujur, setelah membacanya saya mengalami mind-shifting tentang kematian ini. Penulis menyatakan bahwa kita tidak perlu takut menghadapi kematian, orang yang berpikir sehat tentu akan mempersiapkan bekal agar memperoleh kenikmatan di alam barzakh dan alam akhirat, bahkan lebih nikmat dari kehidupan di dunia. Selain itu, penulis menyadarkan bahwa sejatinya kematian itu adalah pertemuan kita dengan Allah Swr, kekasih kita.
Menarik lagi, pembahasan azab dan siksa dari penulis menurut saya sangatlah anti-mainstream. Berbeda dengan pembahasan azab dan siksa pada umumnya yang seringkali membuat saya takut, kejer. Di sini penulis menyatakan bahwa “Kata azab itu sesungguhnya adalah arti yang baik; bahwa ada sakit, namun sakit itu adalah cara Allah untuk memperbaiki manusia agar hidup di alam barzakh dan alam akhirat dengan baik. Sementara kata siksa yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti pelajaran, sehingga siksa itu pelajaran kepada orang-orang yang hidupnya tidak sesuai dengan standar.” Namun, bagaimanapun penulis mengemas tentang azab dan siksa ini, saya tetap berdoa semoga dihindarkan dan dijauhkan dari azab dan siksa, naudzubillah.
Pada bab selanjutnya yang berjudul “Kehilangan Orang-Orang Dekat” saat membaca judulnya pasti yang terlintas dalam hati adalah rasa sedih. Namun, lagi dan lagi, penulis memberikan warna dan nuansa yang berbeda pada setiap tulisannya. Penulis berujar bahwa “kehilangan orang terdekat, jika kita sikapi dengan baik, justru akan menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan bagi kita.” Mungkin kalimat ini susah untuk ditelan mentah-mentah jika kita tidak mengetahui hikmah dibalik kehilangan orang-orang terdekat. Penulis menjelaskan bahwa sejatinya walaupun secara fisik hubungan kita sudah terputus, namun tidak secara psikologi dan ruhani. Kita tetap memiliki hubungan ruhani yang bahkan jauh lebih kuat dengan keluarga kita yang mendahului kita. Hubungan ruhani itu bisa kita bangun dengan cara mendoakan mereka, menerapkan dan mengamalkan ilmu yang telah diajarkannya, meniatkan amal baik yang kita lakukan untuk mereka, sehingga dengan demikian memori tentang orang yang meninggal itu tetap terpelihara di dalah hidup kita. Karena sejatinya, setiap yang bernyawa pasti akan mati, dan in this life, people come and go.
Pada bab selanjutnya yang berjudul “Wabah Corona: Jembatan Menuju Peradaban Baru?” dalam bab ini dibahas bahwa sejatinya peradaban kita saat ini sudah terlampau jauh dari apa yang diprioritaskan oleh agama. Hegemoni dan segala macam hal duniawi yang melalaikan. Sehingga diharapkan setelah wabah corona ini mereda dan kita memasuki fase baru di era new normal ini, kita bisa kembali kepada esensi beragama yakni beiman kepada Allah, hari akhir, lalu beramal saleh, berlaku ihsan, dan kita bisa mencapai kehidupan “normal” yang sesungguhnya, aamiin.
Komentar
Posting Komentar